Membangun lembaga pendidikan Islam khususnya dalam hal ini adalah setingkat sekolah dasar merupakan hal yang memiliki tantangan yang cukup besar. Saya mengatakan ini adalah “tantangan” untuk menggantikan kata “sulit” atau “susah” sebagaimana banyak orang mengatakannya.
Kenapa saya mengatakan tantangan yang cukup besar? Iya karena pada kenyataannya tidak semua orang mau dan mampu menghadapi tantangan sedemikian besar tersebut.
Jangankan orang lain yang tidak tahu menahu mengenai perkembangan lembaga pendidikan ini. Dari empat orang pendiri yayasan ini, dua orang mengundurkan diri dengan alasannya masing-masing. Sedangkan satu orang yang masih bersama saya sampai saat ini pernah menyarankan untuk membubarkan sekolah ini pada tahun 2014.
Baca juga: Bagaimana memilih sekolah untuk anak-anak kita
Apa pasal? Karena beliau tidak memiliki bayangan dana untuk membangun gedung sekolah yang nilainya tidak cukup ratusan juta rupiah. Dalam perhitungan sahabat saya ini, tidak mungkin bisa membangun gedung sekolah yang nilainya ketika itu diperkirakan akan menelan biaya sekitar 1,4 miliar. Sedangkan kami hanya karyawan biasa yang hanya mengandalkan penghasilan bulanan yang hanya cukup untuk membiaya kebutuhan keluarga sendiri.
Dalam diskusi yang dilakukan antara saya dan satu teman yang tersisa dalam kepengurusan yayasan, beliau mengungkapkan idenya untuk melakukan moratorium pendaftaran siswa baru. Dengan kata lain beliau menginginkan pembubaran lembaga yang sudah didirikan pada bulan September tahun 2011 ini.
Bagi beliau yang memang sejak awal tidak melakukan hal teknis mengenai marketing dan pemeliharaan hubungan dengan orang tua siswa, mungkin akan sangat dengan mudah melakukannya. Tetapi, bagaimana dengan saya dan istri yang sejak awal berkecimpung untuk memasarkan sekolah ini ke sekolah-sekolah TK dan para calon orang tua murid di beberapa perumahan dan dalam setiap presentasi kami selalu mengatakan gedung akan kami bangun dengan megah?
Apa reaksi para orang tua murid yang saat itu berjumlah 47 orang siswa jika tahu-tahu sekolah tempat anak-anaknya dibubarkan dengan alasan kami tidak mampu membangun gedung sekolah dan menyerah kalah? Bagi saya, tidak sesederhana itu kita mebubarkan sebuah sekolah seperti membubarkan usaha tahu krispi atau ayam goreng kaki lima gara-gara sepi pembeli.
Akhirnya, saya mengabaikan saran dari teman ini untuk membubarkan lembaga pendidikan yang sudah susah payah kami bangun dari nol. Bagi saya, saya tidak memiliki alternatif kecuali berjalan ke depan dengan tegap dan menatap masa depan yang cerah.
Tidak mudah memang, mengusahakan dana 1,4 miliar lebih untuk membangun sekolah. Segala cara saya tempuh demi mendapatkan dana untuk membangun sekolah. Dari mulai mencari investor, sampai mengajukan kredit ke perbankan. Hasilnya? NIHIL.
Investor, siapa yang mau membiayai sekolah yang dianggap tidak memiliki masa depan ini. Perbankan, kami tidak memiliki agunan cukup untuk mendapatkan pinjaman senilai miliaran.
Sedangkan dari sisi orang tua murid sudah mulai banyak yang ‘menggugat’ kami dengan menanyakan kapan pelaksanaan pembangunan gedung sekolah. Masa sekolah di rumah selama bertahun-tahun. Maklum kami menggunakan rumah sebagai sarana belajar sejak tahun 2013 sampai pertengahan tahun 2015.
Ketika saya ditanya hal itu, saya hanya menjawab, belum tahu. Insya Allah waktunya akan datang. Akan tetapi, tentu saja jawaban saya ini tidak bisa memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi ini. Bahkan banyak orang tua yang kecewa kemudian mengeluarkan anak-anaknya untuk dipindahkan ke sekolah sebelah yang gedungnya lebih representatif.
Saya hanya pasrah saja ketika 19 siswa dari 47 itu dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya. Apa mau dikata? Mereka juga tidak saya salahkan. Toh yang mereka tuntut adalah hal yang wajar, yaitu gedung sekolah yang representatif untuk anak-anak mereka. Hanya saja, diantara mereka ada yang sabar dan setia, ada pula yang tidak sabar dan ingin segera pindah ke sekolah lain.
Siswa lama 19 yang keluar, sedangkan tahun ajaran baru kami hanya mendapatkan 7 siswa. Jadi, angkatan pertama kami mendapatkan 28 siswa, angkatan kedua 31 siswa dan angkatan ketiga 7 siswa. Kelak siswa yang 28 menjadi 16, yang 31 menjadi 16 dan yang 7 menjadi 4 pada saat kelulusan kelas 6.
Jika ditanya, apakah saya sedih karena 19 siswa keluar? Banget, namanya juga manusia. Tetapi kesedihan tidak perlu berlama-lama apalagi berlarut-larut dalam kesedihan. Kejadian demi kejadian harus menjadi bahan introspeksi dan harus diambil hikmah. Yang penting adalah bagaimana kami membangun optimisme dalam hidup dan kehidupan ini.